Selasa, 11 Mei 2010

PENDEKATAN PARTISIPATIF MULTISTAKEHOLDER REFORMA AGRARIA PERTANIAN UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia sebagai individu ataupun sebagai makhluk sosial, dalam menopang kehidupannya tidak akan pernah terlepas dari apa yang dinamakan lahan. Lahan merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Konteks lahan yang akan kita bahas cenderung berkaitan dengan tanah, sebagai lahan pertanian. Pada umumnya tanah berfungsi sebagai lahan bagi masyarakat pedesaan untuk mengusahakan pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Disamping itu, tanah juga berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan manusia sehari-hari, seperti mendirikan tempat tinggal, dan sebagai sumber nafkah dalam bidang pertanian. Begitu pentingnya faktor tanah, sehingga tanah memiliki berbagai nilai, seperti nilai politis, nilai sosial, nilai ekonomi, bahkan juga nilai religi (Surna T. Djajadiningrat, etc 2006).

Disisi lain, tanah juga dapat menjadi sumber konflik, seperti perebutan lahan dan sumber nafkah. Hal ini dapat berdampak pada integritas warga itu sendiri. Seringkali konflik ini menyebabkan permasalahan yang berkepanjangan dan ketidak harmonisan di antara pihak yang bertikai, hal ini dikarenakan konflik perebutan lahan dan sumber nafkah yang terjadi, sangat rentan untuk memunculkan masalah yang lain.

Mengenai lahan di Desa Cidokom ini, masih terdapat banyak lahan pertanian dan perkebunan karet. Namun banyak diantaranya bukan merupakan milik warga sendiri. Masyarakaat Desa Cidokom hanya berperan sebagai petani penggarap. Bahkan beberapa lahan yang selama ini diolah oleh warga merupakan milik PTPN, yang akan segera diambil alih kembali hak kepemilikannya. Belakangan ini diketahui lahan tersebut merupakan tanah pemerintah yang hanya memiliki hak guna usaha saja. Beberapa petani penggarap tersebut kini mulai menyadari kekhawatiran akan lahan yang mereka garap. Hal ini dikarenakan kontrak tanah yang hanya memiliki hak guna usaha tersebut, masa berlaku kontraknya dalam jangka waktu dua tahun ini akan segera habis pada tahun 2010.

Berdasarkan kasus konflik yang terjadi pada masyarakat Cidokom, dalam hal ini akan membahas status kepemilikan lahan yang tidak jelas, dampak ketidakpastian kepemilikan lahan pada masyarakat Cidokom, dan seberapa besar pengaruh kepemilikan lahan bagi masyarakat Cidokom itu sendiri.

Untuk mengatasi dan mengantisipasi masalah seperti ini, maka pengetahuan lokal secara mendasar merupakan arena negosiasi dan kontestasi kepentingan diantara berbagai wacana yang menimbulkan kontradiksi. Melalui pendekatan partisipatif multistakeholder reforma agraria pertanian yang sesungguhnya sebagai solusi penyelesaian konflik lahan yang terjadi.
Tujuan
Tujuan dalam penulisan PKM GT adalah:
1.Memperjelas status kepemilikan lahan masyarakat Cidokom
2.Mengetahui dampak ketidak pastian kepemilikan lahan pada masyarakat Cidokom
3.Mengetahui seberapa besar pengaruh kepemilikan lahan bagi masyarakat Cidokom.
4.Mengetahui dan memahami pendekatan partisipatif multistakeholder reforma agraria pertanian.

Manfaat
Penulisan PKM-GT ini dapat bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat, dan bagi kalangan akademisi. Manfaat tersebut diantaranya:
1.Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan suatu kebijakan yang tepat bagi masarakat pedesaan.
2.Bagi masyarakat setempat, diharapkan dapat memperoleh gambaran mengenai keadaan kampungnya dan peka terhadap kampungnya, sehingga masyarakat dapat menggarap tanah atau lahan yang merupakan haknya.
3.Kalangan akademisi dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan dan menjadikan tulisan ini sebagai sumber informasi dalam membuat karya tulis lainnya.

GAGASAN
Pemilikan, Penguasaan, dan Pemanfaatan Lahan Pertanian
Menurut Wiradi (1984) kata “pemilikan” tanah menunjukkan kepada penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” tanah menunjukkan pada penguasaan efektif. Pemilikan formal tidak selalu mencerminkan penguasaan nyata atas tanah. Penguasaan formal dapat dijelaskan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai penguasaan tanah tersebut. Dilihat dari segi sosial, pemilikan tanah bukan hanya merupakan harta ekonomi, tetapi mencerminkan status sosial seseorang. Penguasaan tanah dapat diperoleh melalui sistem sewa menyewa, sakap menyakap, dan sebagainya. Pengertian penguasaan tanah belum tentu atau tidak harus disertai dengan pemilikan.

Kekuasaan dapat dilihat dari kemampuan mengerahkan orang, melakukan perjuangan atau menyelesaikan proyek-proyek tertentu. Definisi diatas sama halnya dengan Pembentukan kelompok strategis yang terjadi di Desa Cidokom kampung Tambilung. H. Mustofa merupakan salah satu pemimpin strategis yang berada di desa tersebut. Berikut ini merupakan beberapa ciri-ciri pemilihan kelompok strategis di suatu masyarakat tradisional; tidak ada sistem pemilihan dalam pergantian kekuasaan dalam masyarakat tradisional, kekuasaan dianggap berpusat pada orang-orang tertentu.

Billah et al.(1984), dari hasil penelitiannya menjelaskan bahwa sistem jual beli tanah memungkinkan berlangsungnya pemusatan pemilikan tanah pada satu pihak dan pihak lain akan menambah jumlah orang yang tidak memiliki tanah. Sistem sewa menyewa memberi kemungkinan pemusatan penguasaan tanah ditangan beberapa “orang kuat” dan dilain pihak menambah jumlah orang yang tidak berkuasa lagi atas tanah miliknya utuk satu jangka waktu tertentu. Kelompok ini terdiri dari para petani miskin. Mengacu pada pemikiran Ranneft, billlah et al (1984) menjelaskan beberapa akibat dari proses penyempitan tanah, antara lain: terjadinya usaha penjualan tanah baik oleh perorangan maupun oleh masyarakat (pembelian hak gogol) dan sewa menyewa tanah.

Desa Cidokom
Keadaan alam di desa Cidokom masih asri dan terjaga. Hal ini dapat dilihat dengan masih banyaknya terdapat sawah-sawah, pohon buah-buahan seperti rambutan dan kecapi. Meskipun demikian desa ini dapat dikategorikan desa modern karena telah memiliki sarana listrik dan beberapa rumah disana sudah memiliki sistem sanitasi yang baik. Masyarakat di Desa Cidokom kebanyakan merupakan penduduk asli. Mata pencaharian mereka beragam, mulai dari bertani, berdagang, buruh bangunan, bahkan beberapa mengadu nasib untuk bekerja di Jakarta. Tingkat pendidikan yang rendah menjadi salah satu faktor penghambat pembangunan di desa ini. Dimana kebanyakan warganya putus sekolah setelah lulus SD atau SLTP. Sehingga rata-rata penghasilan warga di kampung ini masih di bawah Rp 500.000,00 per bulan.

Sebagian besar masyarakat di Desa Cidokom memiliki mata pencaharian sebagai petani. Secara tidak langsung lahan menjadi faktor utama dalam kelangsungan hidup mereka. Namun kenyataannya kebanyakan dari petani-petani penggarap tersebut tidak menggarap lahan milik mereka sendiri, melainkan tanah milik orang lain atau tanah yang hanya memiliki HGU (Hak Guna Usaha) yang sewaktu-waktu dapat diambil kembali oleh pemerintah.

Permasalahan
Tanah HGU sudah sejak lama digarap oleh masyarakat Cidokom. Awal mulanya mereka hanya meneruskan pekerjaan menggarap tanah yang diwariskan dari leluhur mereka yang belakangan diketahui sebagai tanah pemerintah yang hanya memiliki hak guna usaha saja. Beberapa petani penggarap tersebut kini mulai menyadari akan kekhawatiran lahan yang mereka garap. Setelah ditinjau lebih jauh kontrak tanah yang hanya memiliki hak guna usaha tersebut, masa berlaku kontraknya dalam jangka waktu dua tahun ini diperkirakan akan segera habis pada tahun 2010.

Menurut Damanhuri (Ketua Kelompok Tani di Desa Cidokom, 2010) masalah habisnya kontrak tanah hak guna usaha hanya diketahui oleh beberapa petani saja. Lahan hak guna usaha tersebut rencananya akan disewa oleh pihak swasta. Petani yang mengetahui masalah tersebut berusaha agar tanah yang mereka garap dapat terus mereka kelola, dan sebisa mungkin mereka mengusahakan agar saat masalah ini muncul kepermukaan tidak menjadi rumit. Hal yang paling dikhawatirkan adalah keresahan petani yang akan kehilangan mata pencaharian mereka berkaitan dengan status kepemilikan lahan.

Kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam, seperti halnya komunitas-komunitas daerah lain, dibentuk oleh sistem perpindahan kekuasaan. Di kalangan masyarakat, politik pengelolaan lahan dilakukan berdasarkan satuan individual, sehingga banyak warga Desa Cidokom yang tidak mengetahui status tanah yang selama ini mereka kelola. Hal ini dapat terjadi mengingat rendahnya tingkat pendidikan masyarakat setempat. Sehingga tidak adanya koordinasi antara masyarakat dengan PTPN mengenai status kepemilikan lahan.

Ketidakjelasan status kepemilikan lahan di Desa Cidokom menyebabkan terjadinya konflik lahan, PTPN memiliki legalitas untuk menyerahkan kepemilikan kepada pihak swasta atau masyarakat Cidokom. Hal ini menyebabkan dampak yang signifikan bagi masyarakat Cidokom. Keresahan dan kekhawatiran kehilangan pekerjaan mulai muncul kepermukaan masyarakat, yang awalnya hanya diketahui oleh tokoh masyarakat desa tersebut. Kondisi ini berpengaruh besar terhadap produkfitas kinerja mereka, karena lahan merupakan sumber kehidupan masyarakat Cidokom. Pada umumnya masyrakat Cidokom bekerja sebaga petani, meskipun terdapat beberapa yang bermata pencaharian lain.

Menurut Fisher dalam Asusti (2006) konflik dapat timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan antar pribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat, Negara, dan semua bentuk hubungan manusia yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan. Analis konflik merupakan proses praktis untuk mengkaji dan memahami kanyataan konflik dari berbagai sudut pandang. Adapun menurut Fisher dalam Sihaloho (2006) konflik dapat disebut sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan. Konflik dibagi dalam beberapa tahap, yakni:
a.Pra konflik: tahap awal terjadinya konflik, adanya ketidaksesuaian sasaran diantara pihak-pihak yang berkonflik;
b.Konfrontasi: konflik semakin terbuka, disertai aksi-aksi kekerasan tingkat rendah;
c.Krisis: aksi-aksi kekerasan meningkat, menyerupai periode perang;
d.Akibat: aksi kekerasan menurun; ditandai oleh adanya negosiasi atau usaha untuk menghentikan konflik;
e.Pasca konflik: upaya pihak-pihak berkonflik untuk mengakhiri berbagai aksi kekerasan, jika tidak terdapat upaya penyelesaian konflik antara pihak yang berkonflik maka akan kembali lagi ke tahap pra konflik.
Konflik kepemilikan lahan pada masyarakat Cidokom juga berpengaruh terhadap tingkat ekonomi masyarakat setempat, yang menyebabakan beberapa masyarakat setempat memilih untuk bekerja di Jakarta, dikarenakan minimnya pemasukan yang mereka peroleh dan besarnya ancaman kehilangan pekerjaan sebagai petani yang sampai saat ini belum bisa diselesaikan. Secara tidak langsung psikologi masyarakat Cidokom terancam akan kehilangan pekerjaan tanpa diimbangi optimalisasi usaha pengembalian lahan mereka.

Solusi Sebelumnya
Penyelesaian konflik lahan secara musyawarah yang pernah dilakukan oleh kelompok strategis di Desa Cidokom membuat konflik lahan yang terjadi semakin tertutupi dan tidak secara terbuka diketahui masyarakat setempat. Hal ini menyebabkan penundaan penyelesaian konflik lahan tersebut, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut dan koordinasi yang jelas untuk bisa menyelesaikan konflik lahan yang sudah terjadi. Untuk itu, diperlukan adanya pertimbangan mengenai pentingnya pendekatan partisipatif multistakeholder reforma agraria pertanian untuk saling bekerjasama sesuai birokrasi dalam penyelesaian konflik lahan ini.

Konsep Reforma Agraria Pertanian
Reforma agraria adalah demokrasi yang berbasis pada penguatan masyarakat sipil beserta kelembagaannya yang mendukung. Pembangunan agrarian merupakan pembangunan masyarakat pembaharu yang partisipatif dalam setiap proses pembangunan. Pembangunan yang dimaksud adalah pembangunan yang terintegrasi, lebih menguntungkan semua pihak, menghargai hak asasi manusia, berkelanjutan, pemberdayaan, kekuatan komunitas, meningkatkan kekuatan personal, penghargaan diri, lebih independen, teroganisir dengan baik, penuh kedamaian, memiliki keahlian bersaing, memperhatikan proses dan hasil, konsesus, kooperatif, partisipatif, bebas dalam menentukan tujuan, dan merupakan pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat (Ife 1995 dalam afiandi 2006).

Berdasarkan sensus pertanian tahun 2003 tercatat sekitar 70 persen petani hanya menguasai 13 persen lahan, sementara 30 persen lainnya (pemerintah dan swasta) justru menguasai 87 persen lahan. Ketimpangan ini juga ditunjukan dari peningkatan jumlah petani gurem pada periode tahun 1996 sampai dengan 2003 sebesar 2,6 persen. Berdasarkan data yang telah dikeluarkan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), selama masa orde baru tercatat 1497 buah sengketa agraria. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah orde baru bertolak belakang dengan pemerintahan sebelumnya yang memiliki penekanan orientasi pada “berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan serta meletakkan masalah pembaharuan agrarian sebagai basis pembangunan” yang kemudian diubah menjadi “bettering on the strong (bertumpu pada yang kuat)” dengan mengundang modal asing (Agus Nurdin, 2006).

Hakikat struktur agraria menyangkut masalah susunan pembagian tanah, penyebaran atau distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses produksi. Ada dua istilah yang penting mengenai hal ini, land tenure dan land tenancy. Land tenure mempunyai arti hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah ini biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah mengenai status hukum dari penguasaan tanah, seperti hak milik, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Uraian itu menunjuk kepada pendekatan yuridis. Penelaahannya biasanya bertolak dari sisirem yang berlaku dari sistem yang berlaku mengatur kemungkinan penggunaan, mengatur syarat-syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya, dan berapa lama penggarapan itu dapat berlangsung (Wiradi 2009).

Susunan masyarakat agraris dapat berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu periode ke periode lainnya, tergantung pada bagaimana corak struktur agrarianya. Dalam pengertian struktur agraria perlu dibedakan antara istilah pemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah. Kata pemilikan menunjuk kepada penguasaan formal, sedangkan pennguasaan menunjuk pada penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya.

Tata hubungan dalam struktur agraria yang sudah mapan ini, meski demikian harus dipahami sebagai mapan dalam arti relatif dan bukanlah permanen sepanjang waktu. Tatanan itu bisa berubah akibat bekerjanya berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan perubahan tata hubungan itu adalah perubahan struktur politik, orientasi politik, kebijakan ekonomi, teknologi, dan faktor-faktor lain serbagai turunan dari keempat faktor tersebut. Proses perubahan tata hubungan ini sendiri dapat terjadi secara semu, tetapi perubahan itu juga dapat terjadi melalui atau menimbulkan suatu gejolak sosial (Wiradi 2009).


Pendekatan Partisipatif Multistakeholder
Partisipasi cenderung dimaknai sebagai keikursertaan masyarakat mengambil bagian untuk mendukung dan mensukseskan kebijakan dan program-program yang diprakarsai pemerintah, yang sebenarnya merupakan makna dari mobilisasi. Partisipasi yang sesungguhnya dimaknai sebagai hak warga masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada setiap tahapan pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pelestarian sampai pada tahap evaluasi, sehingga masyarakat tidak hanya sekedar penerima manfaat atau objek saja, melainkan sebagai agen pembangunan. Wujud dari pendekatan partisipatif akan memberikan ruang dan kapasitas kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran masyarakat, serta membangun kemandirian masyarakat.
Konsep multistakeholder merupakan bentuk kerjasama yang melibatkan semua pihak terkait, diantaranya pemerintah, masyarakat, dan swasta, untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada. Khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumberdaya manusia. Masyarakat bukan sebagai obyek pasif penerima manfaat kebijakan pemerintah, tetapi sebagai aktor atau subyek yang aktif menentukan kebijakan. Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain.
Keberhasilan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat di pedesaan tidak terlepas dari komitmen mewujudkan kehidupan ideal dan bagaimana mengelola dinamika kehidupannya, seperti pada desa Cidokom juga. Menurut Endriatmo Soetarto dan Moch Shohibuddin (2005) Langkah strategis dalam penyelesaian konflik yang terjadi di pedesaan dapat dilakukan melalui beberapa tahap penyelesaian yang harus difokouskan untuk masing-masing langkah tersebut, yang juga harus terus dikembangkan. Tahapan-tahapan tersebut dalam penerapannya di Desa Cidokom adalah:
1.Tahap pembentukan landasan
Tahap pertama ini menandai dimulainya kesadaran kolektif dari masyarakat Pedesaan untuk membangkitkan kembali status kepemilikan lahan mereka. Melalui pendekatan partisipatif multistakeholder sebagai faktor penentu, interaksi diantara sesama mereka sendiri ataupun dengan aktor-aktor dari luar, serta berbagai proses yang terlibat didalamnya.
2.Tahap perjuangan untuk memperoleh pengakuan
Dinamika internal yang sudah berlangsung pada tahapan sebelumnya, akan berperan sangat aktif dan penuh antusias dalam upaya-upaya menguatkan identitas lahan serta memulihkan kembali hak kepemilikan lahan pada petani. Pada aktualisasinya, proses ini tak ubahnya seperti menggali sejarah Desa Cidokom itu secara keseluruhan karena melibatkan penuturan tentang Desa Cidokom. Sehingga dalam proses ini akan menghasilkan dokumentasi untuk memperkuat kepemilikan lahan yang sebenarnya. Pada tahap inilah perlu adanya advokasi penerapan reforma agraria pertanian sebagai solusi kebijakan, untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sehingga konflik lahan dapat teratasi.
3.Tahap konsolidasi lebih lanjut
Untuk mencapai pengakuan kepemilikan lahan yang sebenarnya diperlukan konsolidasi yang tepat, dan juga untuk menghindari perbedaan pandangan dan kepentingan diantara pihak konflik yang terkait, dalam hal ini pemerintah, swasta, dan masyarakat. Diperlukannya perumusan aturan kepemilikan yang lebih rinci agar sewaktu-waktu tidak terulangi lagi. Hal ini sangat bergantung pada pengetahuan dan penerimaan sosialisasi aturan-aturan baru diantara pihak terkait.
4.Tahap diseminasi keluar
Pada tahap ke empat ini agenda strategis yang telah dilakukan untuk dikampanyekan pada daerah-derah sekitarnya yang memiliki kasus serupa. Meyakinkan mereka agar berani melakukan hal yang sama, dan bukan menjadi masyarakat yang apatis.

Pada pembangunan agraria kekuatan petani menjadi kekuatan pelopor yang terorganisasi dalam satuan organisasi petani. Pembangunan agraria ini berasal dari kenyataan kebutuhan petani bukan berasal dari intervensi pihak luar. Mengupayakan dengan menegaskan kembali undang-undang tentang land reform diberbagai sektor secara komprehensif dan terpadu. Seluruh proses pengambilan kebijakan dan pelaksanaan reforma agraria harus saling berkoordinasi untuk menegaskannya. Organisasi rakyat tani yang mrerupakan pijakan paling tepat untuk menerapkan reforma agraria, departemen, dan lembaga negara terkait agraria harus berperan aktif. Selain itu diperlukan adanya tinjauan secara teoritis dari golongan akademisi dan LSM. Menyusun formasi kepemimpinan gerakan rakyat serikat petani sangat penting dilakukan agar dapat bekoordinasi dengan baik antar elemen-elemen terkait.

Penguasaan lahan oleh petani maka akan menciptakan lapangan pekerjaan secara merata di pedesaan sekaligus menciptakan pendapatan rumah tangga yang pasti. Dengan demikian maka akan terjadi peningkatan daya beli masyarakat pedesaan sebagai sumber pembentukan pasar domestik yang kuat dengan tetap berasaskan pada kearifan lokal masyarakat Cidokom. Oleh karena itu diperlukan status kepemilikan lahan yang jelas, karena sangat besar pengaruhnya pada keberlangsungan hidup petani dan juga untuk menghindari dampak-dampak negatif dari ketidakjelasan kepemilikan lahan itu sendiri. Sehingga tahapan-tahapan yang tersebut di atas sangat penting dilakukan untuk menyelesaikan konflik lahan antara PTPN, masyarakat, maupun pihak swasta di kampung Cidokom.

Peranan tokoh masyarakat dalam penyelesaian konflik kepemilikan lahan yang terjadi di Desa Cidokom cukup penting. Mengingat stakeholder non formal pada tingkat atas sangat dipatuhi oleh masyarakat Cidokom. Bekerjasama pada pihak struktural pemerintahan dan mengikutsertakan pihak swasta maka akan dapat menemui titik terang konflik yang telah terjadi. Di sisi lain perananan dari masyarakat Cidokom itu sendiri sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik lahan ini sesuai dengan reforma agraria.

Peran tokoh masyarakat adalah untuk mempengaruhi masyarakat Cidokom agar mau bekerjasama dalam hal penyelesaian status kepemilikan lahan, dan agar masyarakat Cidokom tidak hanya sekedar ketakutan kehilangan pekerjaan mereka, tetapi juga berusaha untuk memperjelas status kepemilikan lahan, agar mereka dapat berproduksi dengan baik. Sedangkan peran pemerintah disini menjembatani terselesaikannya konflik lahan ini, dan bukan mempersulitnya. Hal ini dikarenakan jejaring kerjasama antara pemerintah, pihak tokoh masyarakat, serta masyarakat itu sendiri sangat berpengaruh besar dalam keberhasilan penyelesaian konflik lahan di Cidokom. Pihak swasta disini tidak semata-mata mementingkan kepentingannya, tetapi menempatkan dirinya pada porsinya. Sehingga jejaring kerjasama antar stakeholder itu sendiri dapat tewujud dengan baik dan menyelesaikan permasalahan.

Langkah awal yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan tahapan-tahapan penyelesaian konlik lahan yang terjadi pada masyarakat Cidokom melalui penedekatan partisipatif multistakeholder reforma agraria adalah melakukan pendekatan pada pemimpin non formal masyarakat Cidokom tersebut. Dari hal tersebut maka tahapan-tahapan yang dilakukan dapat diterima secara kolektif oleh masyarakat Cidokom. Kemudian melakukan pendekatan pada pihak struktural pemerintahan Desa Cidokom dan pihak swasta terkait. Sehingga proses tahapan-tahapan tersebut dapat mudah dilakukan, dengan menyesuaikan pada kearifan lokal masyarakat Cidokom. Pendekatan partisipatif multistakeholder diharapkan dapat mengadvokasi penerapan reforma agraria pertanian yang tepat guna dan tepat sasaran. Hal ini diharapkan dapat memberdayakan seluruh pihak terkait, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan baik langsung maupun tidak langsung.


KESIMPULAN
Lahan merupakan bagian kehidupan dari masyarakat Cidokom. Hal ini dikarenakan lahan memiliki nilai ekonomis dan sosial bagi masyarakat setempat. Konflik perebutan lahan dan sumber nafkah ini membutuhkan penyelesaian yang cukup serius agar dapat terselesaikan hingga akarnya, sehingga tidak menimbulkan permasalahan baru. Langkah strategis dalam penyelesaian konflik lahan yang terjadi di Desa Cidokom dapat dilakukan melalui pendekatan partisipatif multistakeholder reforma agraria dengan beberapa tahap penyelesaian yang harus difokuskan untuk masing-masing langkah tersebut, dan juga harus terus dikembangkan. Tahapan-tahapannya adalah pembentukan landasan, perjuangan memperoleh pengakuan, konsolidasi lanjutan, dan tahap diseminasi keluar. Setelah melalui tahapan tersebut dilanjutkan dengan menerapkan reforma agraria dengan menitik beratkan pada kepemimpinan gerakan rakyat tani sebagai kekuatan pelopor reforma agraria, agar dapat berkoordinasi secara baik antar stakeholder terkait. Hal ini dilakukan untuk mengetahui status kepemilikan lahan di Desa Cidokom, dikakarenakan besarnya pengaruh kepemilikan lahan bagi masyarakat Desa Cidokom untuk mempertahankan hidupnya menuju masyarakat yang sejahterah.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ya’kub. 2004, “Agenda Neoliberal: Menyusup Melalui Kebijakan Agraria di Indonesia” dalam Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar, Vol. 9, No. 1, April 2004: hal. 47.

Agus Nurdin. 2004, “Pembangunan Agraria Sebagai Dasar Pembangunan Ekonomi Nasional” dalam Indonesian Journal for Sustainable Future: Indonesia 2005, Vol. 2, No. 3, Juli 2006: hal. 73.

Billah, M.M, Loehur Widjajanto dan Aries Kristyanto. 1984. Strategi Penguasaan Tanah dan Dinamika Sosial dan Pedesaan Jawa (Tengah), dalam Soediono M. T.

Martua Sihaloho, dkk. 2007, “Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria” dalam Sodality, Vol. 01, No. 02, Agustus 2007: hal. 253.

Muhamad Kundarto. 2006. “Mengantisipasi Kerusakan Lahan di Indonesia: Membangun Desa Membangun Negara” dalam Indonesian Journal for Suistainable Future: Indonesia 2005, Vol. 2, No. 3, Juli 2006: hal. 49.

Saiful Bahari. 2003, “Konflik Agraria di Wilayah Perkebunan: Rantai Sejarah yang Tak Kunjung Akhir” dalam Pembaruan Agraria: Antara Negara dan Pasar, Vol. 9, No. 1, April 2004: hal. 37.

Sukarto Endriyatmo, Shohibuddin M. 2005. Artikulasi Politik Kultural Dalam Rangka Klaim Atas Teritori dan Sumberdaya Lokal: Signifikasi dan Dilematikanya. Pustaka Wirausaha Muda: Bogor.

Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (ed.), 1984. Seri Pembangunan Pedesaan : Dua Abad Penguasaan Tanah ( Pola Penguasaan Tanah di Jawa dari Masa ke Masa). PT Gramedia: Jakarta.
Usep setiawan. 2005, “Memetik Pelajaran Dari Reforma Agraria Peru” dalam Pembaruan Desa dan Agraria:Bahaya Laten Sentralisasi, Vol. 02, No. 2, 2005, hal. 93.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar